1.1
AUTOPSI
DAN TUJUANNYA
1.1.1 Defenisi
Autopsi berasal
kata dari Auto = sendiri dan Opsis = melihat. Otopsi adalah
pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian
luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya
cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan
penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan
yang ditemukan dengan penyebab kematian (Mansjoer, dkk, 2000)
1.1.2
Sejarah
Autopsi
Pada
zaman dahulu, sebelum adanya praktek forensik menimbulkan begitu banyak
kerancuan dalam penyelesaian suatu peristiwa kejahatan. Sehingga menyebabkan
tidak terungkapnya suatu kasus dan memberikan kemudahan bagi pelaku untuk
melarikan diri. Buruknya lagi, manusia-manusia yang hidup di zaman kuno
seringkali membuat penyelesaian tidak logis dalam suatu peristiwa, misalnya ada
suatu kasus pembunuhan, peradilan terhadap orang yang dianggap pelaku
diserahkan pada dewa api dengan cara menyuruh orang tersebut berjalan diatas
api, kalau kakinya terbakar orang itu dianggap bersalah.
Walaupun
begitu pembedahan dan pemisahan organ jenazah telah dilakukan oleh manusia
setidaknya 3000 tahun SM oleh bangsa Mesir Kuno dalam praktek mumifikasi.
Pembedahan mayat yang digunakan untuk autopsi sendiri bermula pada sekitar awal
millenium ketiga SM, walaupun sebenarnya hal ini berlawanan dengan norma
masyarakat saat itu yang menganggap pengrusakan terhadap tubuh jenazah akan
menghalanginya ke akhirat.
Konsep
ilmu forensik modern saat ini bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari
jasa-jasa orang-orang di zaman dahulu. Buku berjudul “Xi Yuan Lu” , ditulis
oleh Song Ci (1186–1249) pada masa Dinasti Song -tepatnya tahun 1248- adalah
salah satu tulisan pertama tentang penggunaan obat atau zat kimia dan
Entomology untuk menemukan penyebab suatu kematian. Buku ini juga memberikan
nasihat tentang bagaimana membedakan antara korban yang tewas karena tenggelam
atau pencekikan, bersama dengan bukti-bukti lain dari hasil pemeriksaan mayat
yang pernah dilakukan untuk menentukan apakah kematian disebabkan oleh
pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan. Sejarah mencatat bangsa Romawi Kuno
telah membuat peraturan tentang autopsi sekitar 150 SM. Pada tahun 44 SM,
jenazah Julius Caesar adalah salah satu yang beruntung menjadi obyek resmi
autopsi, belakangan para autopsist menemukan bahwa tusukan kedua pada tubuhnya
lah yang fatal sehingga berakibat pada kematian. Yunani kuno pada abad ketiga
SM juga memiliki 2 orang autopsist handal dan terkenal, Erasistratus dan
Herophilus Khalsedon yang tinggal di Alexandria, tetapi secara umum autopsi
kurang begitu dikenal di Yunani kuno. Selain mereka, pembedahan jenazah untuk
alasan medis juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain misalnya seperti yang
dilakukan dokter Arab Avenzoar dan Ibn al-Nafis, tapi proses autopsi modern
berasal dari para anatomis dari Renaissance. Giovanni Morgagni (1682-1771),
yang dikenal sebagai bapak patologi anatomi, menulis karya lengkap pertama pada
patologi, “De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen Indagatis” (The Seats and
Causes of Diseases Investigated by Anatomy, 1769).Sedangkan sidik jari mulai
digunakan untuk bukti ketika Juan Vucetich memecahkan kasus pembunuhan di
Argentina dengan memotong sebagian dari pintu dengan sidik jari berdarah di
atasnya.
Di
Eropa abad keenam belas, praktisi medis ketentaraan dan universitas mulai
mengumpulkan informasi tentang sebab dan cara kematian. Ambroise Pare, seorang
ahli bedah tentara Prancis, mempelajari efek kematian karena kekerasan pada
organ internal. Dua ahli bedah Italia, Fortunato Fidelis dan Paolo Zacchia,
membangun fondasi munculnya patologi modern dengan mempelajari perubahan yang
terjadi dalam struktur tubuh akibat penyakit.Pada akhir 1700-an,
tulisan-tulisan tentang topik ini mulai muncul. Hal ini termasuk: A Treatise on
Forensic Medicine and Public Health oleh Fodéré, seorang dokter Prancis. Dan
The Complete System of Police Medicine oleh ahli medis Jerman Johann Peter
Franck.
Pada
tahun 1776, kimiawan Swedia Carl Wilhelm Scheele menemukan cara untuk
mendeteksi oksida arsenous alias arsenik, di mayat meskipun hanya dalam kasus
arsenik yang berjumlah besar. Penyelidikan ini diperluas, pada tahun 1806, oleh
kimiawan Jerman Valentin Ross, yang mempelajari cara mendeteksi racun pada
dinding perut korban, dan oleh ahli kimia Inggris James Marsh, yang menggunakan
proses kimia untuk mengkonfirmasi penggunaan arsenik dalam suatu percobaan
pembunuhan di tahun 1836.
Dua
contoh awal penggunaan ilmu forensik Inggris dalam proses hukum menimbulkan
berkembangnya penggunaan logika dan prosedur logis dalam penyelidikan kriminal.
Pada 1784, di Lancaster, John Toms diadili dan dihukum karena membunuh Edward
Culshaw dengan pistol. Ketika mayat Culshaw diperiksa, “pistol wad” (kertas
dihancurkan yang digunakan untuk menjaga bubuk dan bola di moncong) yang ditemukan
di luka pada kepalanya cocok dengan surat kabar robek yang ditemukan di saku
Toms. Di Warwick pada tahun 1816, seorang buruh tani diadili dan dihukum karena
pembunuhan seorang pembantu muda.Dia tenggelam di kolam dangkal dan menanggung
tanda serangan kekerasan. Polisi menemukan jejak kaki dan bekas cap dari kain
corduroy bertambalan di tanah lembab di dekat kolam renang. Selain itu juga
tersebar butir gandum dan sekam. Celana dari buruh tani yang tengah mengolah
gandum di dekat situ diperiksa dan ternyata cocok dengan bekas cap di tanah
dekat kolam renang. Kemudian pada abad ke-20, beberapa patologist Inggris,
Bernard Spilsbury, Francis Camps, Sydney Smith dan Keith Simpson merintis
metode baru ilmu forensik di Britania. Pada 1909, Rodolphe Archibald Reiss
mendirikan sekolah ilmu forensik pertama di dunia, "Institut de polisi
scientifique" di University of Lausanne (UNIL).
Dua
besar peneliti medis abad kesembilan belas Rudolf Virchow dan Carl von
Rokitansky telah menurunkan dua teknik otopsi yang berbeda yang masing-masing
dinamai sesuai dengan nama mereka. Demonstrasi mereka atas ketekaitan antara
kondisi patologis dalam tubuh yang telah mati dan gejala dan penyakit dalam
hidup membuka jalan bagi cara berpikir yang berbeda tentang penyakit dan
pengobatannya.
1.1.3
Pembagian
Autopsi berdasarkan tujuan
Berdasarkan tujuannya,
otopsi terbagi atas :
1.1.3.1
Otopsi
Anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan
mahasiswa fakultas kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke
rumah sakit yang setelah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran
kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di
laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum
digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat dipertanggungjawabkan
sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga
tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan mayatnya
setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan
KUHPerdata pasal 935.
1.1.3.2
Otopsi
Klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang
diduga terjadi akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab
kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem (diagnosis
setelah autopsi), pathogenesis
penyakit, dan sebagainya.
Tujuan dilakukannya Otopsi klinik
adalah untuk:
a)
Menentukan sebab kematian yang pasti.
b)
Menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama
perawatan sesuai dengan diagnosis postmortem,
c)
Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan
dengan diagnosis klinis dan gejala-gejala klinik.
d)
Menentukan efektifitas pengobatan.
e)
Mempelaiari perjalanan lazim suatu proses penyakit.
f)
Pendidikan para mahasiswa kedokteran dan para dokter.
Otopsi
klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli waris
sendiri yang memintanya.Sebaiknya autopsy dilakukan secara lengkap.Otopsi klinik yang lengkap, meliputi
pembukaan rongga tengkorak, dada dan
perut/panggul, serta melakukan pemeriksaan terhadap seluruh alat-alat
dalam/organ., namun
bila pihak keluarga berkeberatan untuk dilakukannya otopsi klinik lengkap,
masih dapat diusahakan untuk melakukan Autopsi klinik parsial, yaitu yang
terbatas pada satu atau dua rongga badan. Apabila ini masih ditolak, kiranya dapat
diusahakan dilakukannya suatu needle
autopsy terhadap organ tubuh tertentu, untuk kemudian dilakukan pemeriksaan
histopatologik.
1.1.3.3
Otopsi
Forensik/Medikolegal,
dilakukan
terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak
wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini
dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu
perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada korban, yang diperoleh
dari pemeriksaan medis. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah :
1.2 Untuk
memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
1.3 Untuk
menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian/ cara kematian (kecelakaan,
bunuh diri, atau pembunuhan), dan saat kematian.
1.4 Untuk
mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab
dan pelaku kejahatan.
1.5 Membuat
laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum.
1.6 Pada
kasus bayi baru lahir adalah untuk memastikan apakah bayi dilahirkan hidup atau
tidak.
1.2 CARA
MELAKUKAN OTOPSI
1.2.1 PEMERIKSAAN
LUAR
Bagian
pertama dari teknik otopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika pemeriksaan
luar adalah :
1.
Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian)
yang biasanya diikatkan pada jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat,
simpan bersama berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap
mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar jenazah,
harus tetap ada pada tubuh mayat.
2.
Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta
kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari penutup mayat.
3.
Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta
kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali
pengikatnya bila ada.
4.
Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari
yang dikenakan di atas sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam.
Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model
pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial, dan
tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada
tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.
5.
Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis,
bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan
tersebut.
6.
Mencatat benda di samping mayat.
7.
Mencatat perubahan tanatologi :
o Lebam
mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
o Kaku
mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada tidaknya
spasme kadaverik.
o Suhu
tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu ruangan pada saat
tersebut.
o Pembusukan.
o Lain-lain;
misalnya mumifikasi atau adiposera.
8.
Mencatat identitas mayat, seperti jenis
kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan,
berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding perut.
9.
Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai
untuk penentuan identitas khusus, meliputi rajah/tatoo, jaringan parut,
kapalan, kelainan kulit, anomali dan cacat pada tubuh.
10. Memeriksa
distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut. Rambut kepala harus
diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara memotong dan mencabut sampai ke
akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi kulit kepala yang berbeda. Potongan
rambut ini disimpan dalam kantungan yang telah ditandai sesuai tempat
pengambilannya.
11. Memeriksa
mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan, kelainan.
Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh darah
yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak,
adanya kelainan fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta
kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil, bandingkan kiri dan kanan.
12. Mencatat
bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
13. Memeriksa
bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan lengkap,
termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan,
dan sebagainya.
14. Bagian
leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau pelebaran pembuluh darah.
Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara menyeluruh.
15. Pemeriksaan
alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan bawaan yang
ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita dicatat keadaan
selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan
bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya luka, benda asing, darah dan
lain-lain.
16. Perlu
diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis,
edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh.
17. Bila
terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka pada
tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka, lokasi,
ukuran, dll. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah kedua tepi
ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa patokan, antara
lain : garis tengah melalui tulang dada, garis tengah melalui tulang belakang,
garis mendatar melalui kedua puting susu, dan garis mendatar melalui pusat.
18. Pemeriksaan
ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya.
1.2.1 PEMERIKSAAN
DALAM
Pemeriksaan
dalam bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut ini :
- Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di
garis tengah sampai prosesus xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri
dari puat sampai simfisis, dengan demikian tidak perlu melingkari pusat.
- Insisi Y, merupakan salah satu tehnik khusus otopsi
dan akan dijelaskan kemudian.
- Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis
pubis, lalu dari lekukan suprasternal ini dibuat sayatan melingkari bagian
leher. (3,4)
Pada
pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati dan
dicatat :
- Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan
menggunakan pita pengukur. Secara tidak langsung dilihat adanya penumpulan
pada batas inferior organ. Organ hati yang mengeras juga menunjukkan
adanya pembesaran.
- Bentuk.
- Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai
permukaan yang lembut, berkilat dengan kapsul pembungkus yang bening.
Carilah jika terdapat penebalan, permukaan yang kasar , penumpulan atau
kekeruhan.
- Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari
ke organ tubuh tersebut.
- Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar
jaringan pada organ itu. Caranya dengan memperkirakan kekuatan daya regang
organ tubuh pada saat ditarik. Jaringan yang mudah teregang (robek)
menunjukkan kohesi yang rendah sedangkan jaringan yang susah menunjukkan
kohesi yang kuat.
- Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna
dan struktur permukaan penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna
organ tubuh adalah keabu-abuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah
darah yang terdapat pada organ tersebut. Warna kekuningan, infiltrasi
lemak, lipofisi, hemosiferin atau bahan pigmen bisa merubah warna organ.
Warna yang pucat merupakan tanda anemia.
Struktur organ juga bisa
berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus juga bisa dilakukan terhadap
sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab kematian. (4) Insisi pada masing-masing
bagian-bagian tubuh yaitu :
- Dada :
- Seksi Jantung :
Jantung dibuka menurut aliran darah :
pisau dimasukkan ke vena kava inferior sampai keluar di vena superior dan
bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup trikuspidalis keluar
di insisi bilik kanan dan bagian ini dipotong. Ujung pisau lalu dimasukkan arteri
pulmonalis dan otot jantung mulai dari apeks dipotong sejajar dengan septum
interventrikulorum. Ujung
pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena pulmonalis kiri dan
bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup mitral keluar di
insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau kemudian dimasukkan
melalui katup aorta dan otot jantung dari apeks dipotong sejajar dengan septum
inetrventrikulorum. Jantung sekarang sudah terbuka, diperiksa katup, otot
kapiler, chorda tendinea, foramen ovale, septum interventrikulorum. Arteri koronaria diiris
dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5 mm mulai dari lubang dikatup aorta. Otot
jantung bilik kiri diiris di pertengahan sejajar dengan epikardium dan
endokardium, demikian pula dengan septum interventrikulorum.
o Paru-paru
:
Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan
dengan memotong bronkhi dan pembuluh darah di hilus, setelah perkardium
diambil. Vena pulmonalis dibuka dengan gunting, kemudian bronkhi dan terakhir
arteri pulmonalis. Paru-paru diiris longitudinal dari apeks ke basis.
Tulang dada diangkat dengan
memotong tulang rawan iga 1 cm dari sambungannya dengan cara pisau dipegang
dengan tangan kanan dengan bagian tajam horizontal diarahkan pada tulang rawan
iga dan dengan tangan yang lain menekan pada punggung pisau. Pemotongan dimulai
dari tulang rawan iga no. 2. Tulang dada diangkat dan dilepaskan dari diafragma
kanan dan kiri kemudian dilepaskan mediastinum anterior. Rongga paru-paru
diperiksa adanya perlengketan, darah, pus atau cairan lain kemudian diukur.
Kemudian pisau dengan
tangan kanan dimasukkan dalam rongga paru-paru, bagian tajam tegak lurus
diarahkan ke tulang rawan no.1 dan tulang rawan dipotong sedikit ke lateral,
kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke sendi sternoklavikularis dengan
menggerak-gerakkan sternum, sendi dipisahkan. Prosedur diulang untuk sendi yang
lainnya.
Mediastinum anterior diperiksa adanya
timus persistens. Perikardium dibuka dengan Y terbalik, diperiksa cairan
perikardium, normal sebanyak kurang lebih 50 cc dengan warna agak kuning. Apeks
jantung diangkat, dibuat insisi di bilik dan serambi kanan diperiksa adanya
embolus yang menutup arteri pulmonalis. Kemudian dibuat insisi di bilik dan
serambi kiri. Jantung dilepaskan dengan memotong pembuluh besar dekat perikardium.
2.
Perut :
o Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati
:
Semua organ tersebut di
atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus diikat ganda dan dipotong.
Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan unit tadi dapat diangkat.
Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya melekat pada hati dilepaskan
terlebih dahulu.
Esofagus dibuka terus ke
kurvatura mayor, terus ke duodenum. Perhatikan isi lambung, dapat membantu
penentuan saat kematian. Kandung empedu ditekan, bulu empedu akan menonjol
kemudian dibuka dengan gunting ke arah papila Vater, kemudian dibuka ke arah
hati, lalu kandung empedu dibuka. Perhatikan mukosa dan adanya batu.
Buluh kelenjar ludah diperut dibuka
dari papila Vater ke pankreas. Pankreas dilepaskan dari duodenum dan
dipotong-potong transversal.
Hati : perhatikan tepi hati, permukaan
hati, perlekatan, kemudian dipotong longitudinal. Usus halus dan usus besar
dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan mukosa dan isinya, cacing.
o Ginjal,
Ureter, Rektum, dan Kandung Urine:
Organ tersebut di atas
dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal dengan suatu insisi lateral dapat
diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh darah di hilus, kemudian
ureter dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung urine dan rektum dilepaskan
dengan cara memasukkan jari telunjuk lateral dari kandung urine dan dengan cara
tumpul membuat jalan sampai ke belakang rektum. Kemudian dilakukan sama pada
bagian sebelahnya. Tempat bertemunya kedua jari telunjuk dibesarkan sehingga 4
jari kanan dan kiri dapat bertemu, kemudian jari kelingking dinaikkan ke atas
dengan demikian rektum lepas dari sakrum. Rektum dan kandung urine dipotong
sejauh dekat diafragma pelvis.
Anak ginjal dipotong
transversal. Ginjal dibuka dengan irisan longitudinal dari lateral ke hilus.
Ureter dibuka dengan gunting sampai kandung urine, kapsul ginjal dilepas dan
perhatikan permukaannya. Pada laki-laki rektum dibuka dari belakang dan kandung
urine melalui uretra dari muka. Rektum dilepaskan dari prostat dan dengan
demikian terlihat vesika seminalis. Prostat dipotong transversal, perhatikan
besarnya penampang.
Testis dikeluarkan melalui
kanalis spermatikus dan diiris longitudinal, perhatikan besarnya, konsistensi,
infeksi, normal, tubuli semineferi dapat ditarik seperti benang.
o Urogenital
Perempuan :
Kandung urine dibuka dan
dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus dibuka dengan insisi longitudinal dan
dari pertengahan uterus insisi ke kanan dan ke kiri. Ke kornu. Tuba diperiksa
dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1-1,5 cm. Ovarium diinsisi longitudinal.
Pada abortus provokatus
kriminalis yang dilakukan dengan menusuk ke dalam uterus, seluruhnya : kandung
urine, uterus dan vagina, rektum difiksasi dalam formalin 10% selama 7 hari,
setelah itu dibuat irisan tegak lurus pada sumbu rektum setebal 1,25 cm,
kemudian semuanya direndam dalam alkohol selama 24 jam. Saluran tusuk akan
terlihat sebagai noda merah, hiperemis. Dari noda merah ini dibuat sediaan
histopatologi.
Usus halus dipisahkan dari
mesenterium, usus besar dilepaskan, duodenum dan rektum diikat ganda kemudian
dipotong. Limpa
: dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan
septa.
3.
Leher
Lidah,
laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil dikeluarkan sebagai
satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok dan tonsil.
Pada kasus pencekikan tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah
tulang.
4.
Kepala :
Kulit kepala diiris dari
prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan mata pisau menghadap keluar
supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit kepala kemudian dikelupas ke
muka dan ke belakang dan tempurung tengkorak dilepaskan dengan menggergajinya.
Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan beberapa ketukan tempurung
lepas dan dapat dipisahkan. Durameter diinsisi paralel dengan bekas mata
gergaji. Falx serebri digunting dibagian muka. Otak dipisah dengan memotong
pembuluh darah dan saraf dari muka ke belakang dan kemudian medula oblongata.
Tentorium serebri diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang otak dapat
diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas dengan cunam. Otak kecil dipisah dan
diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris
transversal, demikiaan pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala
perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi serebri.
5.
Tengkorak Neonatus :
Kulit kepala dibuka seperti
biasa, tengkorak dibuka dengan menggunting sutura yang masih terbuka dan tulang
ditekan ke luar, sehingga otak dengan mudah dapat diangkat. (3)
1.2.2
PEMERIKSAAN KHUSUS
Pada beberapa keadaan tertentu,
diperlukan berbagai prosedur khusus dalam tindakan otopsi, antara lain : insisi
”Y”, insisi pada kasus dengan kelainan leher, tes emboli udara, tes apung paru,
tes pada pneumothorax, dan tes alphanaphthylamine.
·
Insisi ”Y”
1.
Insisi yang dilakukan dangkal (shallow
incision) yang dilakukan pada tubuh pria.
§ Buat
sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan sejajar dengan tulang
tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada bagian tengah (incisura
jugularis).
§ Lanjutkan
sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah bawah tepat di garis
pertengahan sampai ke sympisis os pubis menghindari daerah umbilikus.
§ Kulit
daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke rahang bawah; tindakan ini
dimulai dari sayatan yang telah dibuat pertama kali.
§ Dengan
kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat dalam rongga
mulut dan leher dikeluarkan.
§ Tindakan
selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah mayat yang biasa.
2.
Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang
dilakukan untuk kaum wanita.
§ Buat
sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada, dimulai dari bagian lateral
menuju bagaian medial (proc. Xiphoideus); bagian lateral disini dapat dimulai
dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan arah garis ketiak depan (linea
axillaris anterior), hal yang sama juga dilakukan untuk sisi yang lain (kiri
dan kanan).
§ Lanjutkan
sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai simphisis os pubis, dengan demikian
pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang berada dalam rongga mulut, leher,
dan rongga dada lebih sulit bila dibandingkan dengan insisi ”Y” yang dangkal.
Insisi ”Y”, dilakukan
semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah yang sudah diberi pakaian,
tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan bedah mayat. Ada dua
macam insisi ”Y”, yaitu :
- Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher
o Buat
insisi ”I”, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah seperti biasa,
sampai ke simpisis os pubis.
o Buka
rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga.
o Keluarkan
jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava inferior, vv.pulmonalis,
a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.
o Buka
rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya.
o Dengan
adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher akan bersih dari
darah,
oleh karena darah
telah mengalir ke atas ke arah tengkorak dan ke bawah, ke arah rongga dada;
dengan demikian pemeriksaan dapat dimulai.
Insisi ini dimaksudkan agar
daerah leher dapat bersih dari darah, sehingga kelainan yang minimalpun dapat
terlihat; misalnya pada kasus pencekikan, penjeratan, dan penggantungan.
Prinsip dari teknik ini adalah pemeriksaan daerah dilakukan paling akhir.
Tes emboli udara
o buat
sayatan ”I”, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai ke symphisis
pubis,
o potong
rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan tulang
dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,
o potong
tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,
o setelah
kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung jantung dengan
insisi ”I”, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung sayatan tersebut
dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air yang keluar),
o masukkan
air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi, sampai
jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal ini
merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung,
o tusuk
dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan, yang
berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90 derajat;
gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli hasilnya positif,
o bila
tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis, ke arah
bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,
o bila
kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan dengan prinsip yang
sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada jantung,
o semua
yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner, untuk tes
emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya adalah : pada tes
emboli sistemik tidak dilakukan penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang
pada a. Coronaria sinistra ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan
diadakan pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang
keluar,
o dosis
fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk emboli sistemik
hanya beberapa ml.
Emboli udara, baik yang
sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak jarang terjadi. Pada emboli sistemik udara
masuk melalui pembuluh vena yang ada di paru-paru, misalnya pada trauma dada
dan trauma daerah mediastinum yang merobek paru-paru dan merobek pembuluh
venanya.
Emboli pulmoner adalah
emboli yang tersering, udara masuk melalui pembuluh-pembuluh vena besar yang
terfiksasi, misalnya pada daerah leher bagian bawah, lipat paha atau daerah
sekitar rahim (yang sedang hamil); dapat pula pada daerah lain, misalnya
pembuluh vena pergelangan tangan sewaktu diinfus, dan udara masuk melalui jarum
infus tadi. Fiksasi ini penting, mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari
tekanan udara luar, sehingga jika ada robekan pada vena, vena tersebut akan
menguncup, hal ini ditambah lagi dengan pergerakan pernapasan, yang ”menyedot”.
Tes Apung Paru-paru
o Keluarkan
alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan,
pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
o Apungkan
seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.
o Bila
terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.
o Apungkan
kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan
masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua lobus.
o Apungkan
semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan mana yang terapung.
o Lobus
yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran 5
mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.
o Apungkan
ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan potongan tersebu
pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan menggunakan berat badan,
kemudian dimasukkan kembali ke dalam air.
o Bila
terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung udara, bayi
tersebut pernah dilahirkan hidup.
o Bila
hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi
tetap pernah dilahirkan hidup.
Tes apung paru-paru
dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang diperiksa itu pernah hidup. Untuk
melaksanakan test ini, persyaratannya sama dengan test emboli udara, yakni
mayatnya harus segar. Cara melakukan tes apung paru-paru:
Tes Pada Pneumothoraks
o buka
kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu sekitar iga ke 4
dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ),
o buat
”kantung” dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari daerah iga 4
dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )
o pada
kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan pisau, adanya
gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax; dan bila diperiksa
paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,
o cara
lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar dengan jarum
besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila ada pneumothorax,
tampak gelembung-gelembung udara pada spuit tadi.
Pada trauma di daerah dada,
ada kemungkinan jaringan paru robek, sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme
”ventil” di mana udara yang masuk ke paru-paru akan diteruskan ke dalam rongga
dada, dan tidak dapat keluar kembali, sehingga terjadi kumulasi udara, dengan
akibat paru-paru akan kolaps dan korban akan mati.
Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar test ini, bila test ini tidak dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara melakukan test ini adalah sebagai berikut:
Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar test ini, bila test ini tidak dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara melakukan test ini adalah sebagai berikut:
Tes Alpha Naphthylamine
o kertas
saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine, dan keringkan
dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari,
o pakaian
yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-butir mesiu, dipotong
dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi alpha-naphthylamine,
o di
atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh lagi kertas
saring yang dibasahi oleh aquadest,
o keringkan
dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan diperiksa,
kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring yang basah,
o test
yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada kertas saring
yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-bintik merah jambu tadi sesuai
dengan penyebaran butir-butir mesiu pada pakaian. (5)
Test ini dilakukan untuk
mengetahui adanya butir-butir mesiu khususnya pada pakaian korban penembakan, Setelah otopsi selesai,
semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga tubuh. Lidah dikembalikan
ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak dikembalikan ke dalam rongga
tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat
membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat,
mulai dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali
pada tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian
kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum
mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga. (1)
1.2.3 PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pada otopsi juga dilakukan prosedur
laboratorium yaitu :
1.
Sediaan histopatologi dari masing-masing
organ.
Dari tiap organ diambil sediaan
sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan difiksasi dalam formalin 10%.Organ yang diambil
adalah: paru-paru, hati, limpa, pankreas, otot jantung, arteri koronaria,
kelenjar gondok, ginjal, prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari
bagian lain yang menunjukkan adanya kelainan.
2.
Pemeriksaan toksikologi.
o Lambung
dan isinya.
o Seluruh
usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada pada usus setiap
jarak sekitar 60 cm.
o Darah,
yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer (v,jugularis;
a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50 ml dan dibagi dua, yang satu
diberi bahan pengawet dan yang lain tidak diberi bahan pengawet.
o Hati,
sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
o Ginjal,
diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila
urine tidak tersedia.
o Otak,
diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida, dimungkinkan
karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk
meretensi racun walaupun telah mengalami pembususkan.
o Urine,
diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui urine,
khususnya pada test penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
o Empedu,
diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
o Pada
kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak di
bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
Prinsip
pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya
setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatolgik.
Secara umum sampel yang harus diambil adalah: Pada pemeriksaan intoksikasi,
digunakan alkohol dan larutan garam jenuh pada sampel padat atau organ. NaF 1%
dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel cair. Sedangkan natrium
benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine.
3.
Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis
diambil darah dari jantung dan sediaan limpa untuk pembiakan kuman. Permukaan
jantung dibakar dengan menempelkan spatel yang dipanaskan sampai merah,
kemudiaan darah jantung diambil dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah
dalam tabung reagen yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara tersebut
di atas dan dengan pinset dan gunting yang steril diambil sepotong limpa dan
dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan kedua tabung dikirim ke
laboratorium bakteriologi.
4.
Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan
hati. Mungkin perlu dilakukan untuk melihat parasit malaria.Sediaan hapus
lainnya adalah dari tukak sifilis atau cairan mukosa.
5.
Darah dan cairan cerebrospinalis diambil
untuk pemeriksaan analisa biokimia.
6.
Pemeriksaan urine dan feces.
7.
Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus
kejahatan seksual.
8.
Cairan uretra. (3,4)
Apa nama buku referensinya?
ReplyDelete